Category: Hukum

Perkara Konflik Agraria di Lampung Menumpuk.

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Mesuji hanyalah salah satu daerah di Lampung yang memiliki banyak perkara pelik konflik agraria. Perkara konflik agraria di Lampung kini menumpuk. Nyaris tidak ada yang terselesaikan dengan baik hingga saat ini.

“Kasus agraria yang ditangani LBH saja ada 84 kasus. Sebagian besar belum selesai. Itu belum lagi ditambah data-data jumlah konflik lain dari lembaga lain,” tutur Direktur LBH Bandar Lampung Indra Firsada, Senin (28/5/2012).

Menurut dia, menumpuknya perkara agraria di Lampung terjadi akibat ketidakseriusan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikannya. Padahal, di Lampung sudah dibentuk tim koordinasi penyelesaian konflik lahan.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Lampung kewalahan untuk mengatasi maraknya konflik agraria. Setiap tahun muncul 10 kasus besar baru.

Hampir 60 persen dari sekitar 350.000 hektar luas wilayah hutan register di Lampung kini ditinggali perambah.

REGISTER 45 : Perambah Bertambah Banyak

MESUJI (Lampost): Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam) dinilai lambat mengatasi perambahan Register 45 Sungaibuaya yang makin tak terkendali. Akibatnya, jumlah perambah hutan tanaman industri (HTI) itu diperkirakan mencapai 6.000 jiwa.

Hal itu berdasarkan data Badan Kesbangpol Mesuji. Jumlah tersebut terus bertambah setiap hari karena warga masuk kawasan ini tidak lagi menggunakan terpal atau tenda.

Kini, perambah mendirikan rumah berdinding papan beratap asbes. Bahkan permukiman buatan perambah mendekati lokasi kompleks Pemkab Mesuji dengan jumlah sekitar 1.000 rumah.

“Sebelumnya perambah hanya menggunakan tenda dan jauh dari jalan, kini mendirikan bangunan di pinggir jalan, seolah tanah tersebut pembagian transmigrasi. Kalau persoalan ini tak ditarik ke pusat, terlambat mengatasinya, karena jumlahnya sangat besar,” kata Suripto (57), warga Kampung Brabasan, Kecamatan Tanjungraya.

Pada pertemuan dengan Pangdam II Sriwijaya Mayjen Nugroho Widyotomo, beberapa pekan lalu, perwakilan PT Silva Inhutani, Fitri, menyebutkan dari 43.100 hektare luas kawasan Register 45, pihakya mengusai 16 ribu ha. “Selebihnya dikuasai perambah,” kata Fitri.

Menanggapi hal ini, Bupati Mesuji Khamamik mengatakan Pemerintah Pusat membentuk tim terpadu yang dimotori Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM. Pada rapat terakhir dua pekan lalu di Jakarta, Khamamik mengungkapkan pihaknya mendesak agar tim tersebut turun ke Mesuji melihat situasi lapangan.

Dia mendesak Polri bertindak mengamankan kawasan hutan negara tersebut. “Jelas di Regiser 45 ada pelanggaran hukum. Saya minta ada penegakan hukum supaya menjadi efek jera bagi perambah. Minimal mereka berpikir memasuki kawasan. Bukan seperti sekarang ini, bebas tanpa ada tindakan kepolisian,” kata Khamamik. (UAN/U-1)

Lampost  Rabu 4 Juli 2012

Korban Kompensasi Register 22 Tolak Pengaplingan

Tribun Lampung – Minggu, 24 Juni 2012
IMG03374-20120623-1626.jpg
warga Pekon Madaraya menunjukan lahan Register 22 Way Waya
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID – Warga korban kompensasi (tukar guling ) lahan seluas 175 hektare Register 22 Way Waya, Kecamatan Pagelaran, menolak pengaplingan, sesuai yang direncanakan Pemkab Pringsewu.

Menurut Sekertaris Panitia Penyelesaian Sengketa Tanah di Pekon Giritunggal, Kecamatan Pagelaran, Firman Belentung, lahan sekitar 80 hektare milik 68 kepala keluarga (KK), yang masuk dalam kompensasi lahan, sejak awal bukan lahan Register 22.

“Jelas-jelas tanah itu milik kami yang dapat kami buktikan dengan surat keterangan tanah, surat tebang dan salinan pembayaran IPD (Iuran Pemerintahan Daerah),” tandasnya, Minggu (24/6/2012).

Akan tetapi, terusnya, saat proses kompensasi berjalan, 80 hektarw lahan di Giri Tunggal itu dinyatakan sebagai lahan Register 22 yang kemudian di margakan. “Padahal statusnya sudah tanah marga, tapi dimargakan lagi,” ungkapnya.

Setelah itu, tambah Firman, lahan tersebut dikuasai tim kompensasi didistribusikan ke orang lain.

Atas dasar itu, Firman menyatakan menolak pengaplingan. Sebab, tambah dia, sesuai konteksnya tanah tersebut harus dikembalikan ke pemilik sesuai luasannya masing-masing. “Bukan terus dikapling-kaplingkan kemudian dibagi rata,” katanya.

Firman mengungkapkan, terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomer SK/742/MENHUT-II/2009 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Lindung Kelompok Hutan Way Waya Register 22, tidak mempengaruhi status kepemilikan 68 KK atas lahan 80 hektare tersebut.

Menurut Firman, pemilik tanah tersebut tidak pernah menyediakan dan menyerahkan lahan itu untuk ditukar gulingkan. Sementara 80 KK di Pekon Madaraya, yang sebelumnya memiliki lahan garapan di Register 22, yang kini sudah dimargakan, juga menolak adanya pengaplingan.

Sebab lahan yang mereka garap tadinya, sebagian sudah diduduki orang lain. “Kalau pun ada pembagian lahan, apakah lahan yang ada bisa mencukupi. Sementara, sambung dia, proses kompensasi dilakukan tidak sebagaimana prosedurnya,” tandasnya.

“Kami tidak sepakat apa bila lahan garapan kami dibagi-bagikan. Kami minta lahan kami yang dirampas oleh panitia kompensasi dikembalikan kepada penggarap awal,” tegas Suja’I, warga Madaraya lainnya.

Melalui surat Bupati Pringsewu Sujadi Saddat, Pemkab Pringsewu memohon penegasan atau penetapan tugas pengaplingan lahan hasil tukar menukar hutan seluas 175 hektare ke Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.

Permohonan itu dituangkan dalam surat bernomor : 100/117.E.I.01/2012 yang dikonsep Bagian Tata Pemerintahan Skretariat Daerah Kabupaten Pringsewu. “Iya betul, surat itu yang dilayangkan ke Kementrian Kehutanan,” tukas Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu Firdaus saat dihubungi, Minggu sore.(robertus didik)

Petani Lampung Surati Menhut Pertanyakan Izin HKM

BANDARLAMPUNG (Lampost.com): Para petani di Provinsi Lampung yang masih menunggu kepastian izin kelola kawasan hutan kemasyarakatan, bersepakat segera menyurati Menteri Kehutanan untuk mempertanyakan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan selama 35 tahun.
Kesepakatan tersebut merupakan hasil Rembuk Petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lampung, difasilitasi LSM WATALA, di Bandarlampung, Kamis petang.

Direktur Eksekutif WATALA, Suhendri, menjelaskan, kesepakatan untuk menyurati Menhut itu adalah untuk menanyakan kepastian areal pencadangan HKm Lampung yang dilengkapi data proposal kelompok, berita acara verifikasi pusat yang menyatakan kelompok layak mendapatkan izin HKm tahun 2011, peta HKm, dan dukungan yang ditandatangani oleh pengurus kelompok.

Surat beserta data akan diantarkan langsung kepada Menhut, kata dia.

Disepakati pula, untuk memperkuat surat tersebut perlu dilakukan telaah kebijakan tentang proses terbit areal pencadangan HKm setelah adanya verifikasi pusat yang menyatakan kelompok layak mendapatkan izin HKm berdasarkan Peraturan Dirjen No: 10/2010 bahwa layanan izin penetapan selama 60 hari.

“Target ini tidak pernah tercapai, mengingat kenyataannya kelompok sudah menunggu keluar izin HKm selama 2,5 tahun,” ujar dia pula.

Pertemuan menyepakati pula pembentukan tim kecil yang berasal dari pengurus kelompok dan staf dinas terkait, yaitu Joko Lelono dan Sutrisno (Kabupaten Lampung Timur), Jumino dan A Sayuti (Kabupaten Lampung Tengah), Jumaidin dan Edi Rosadi (Kabupaten Lampung Utara), Mulyono dan Mustafa (Kabupaten Tanggamus), Jimmy Ponda (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung), BP-DAS, dan WATALA.

Tim kecil tersebut juga bertugas untuk menyiapkan rencana bertemu Menhut Zulkifli Hasan di Jakarta, dan akan bertemu lebih dulu di WATALA pada awal Juli nanti Sejumlah dokumen yang perlu disiapkan kelompok petani calon pengelola HKm di Lampung itu, adalah proposal HKm, peta usulan dan berita acara hasil verifikasi pusat, serta surat dukungan dari masing-masing kelompok petani.

Sebelumnya, dalam rembuk yang dilaksanakan di SLB Dharma Bakti Dharma Pertiwi di Kemiling, Bandarlampung itu, Direktur Eksekutif WATALA, Suhendri, menjelaskan bahwa pertemuan ini merupakan rekomendasi dari pertemuan sebelumnya pada April lalu.

Terungkap dalam pertemuan ini, kelompok HKm yang areal pencadangan izinnya masih tertunda itu, secara legalitas sudah diverifikasi tahun 2010, tetapi sampai sekarang belum ada perkembangannya.

Mereka berharap, segera mendapatkan izin yang diperlukan (IUPHKm).

Di Lampung, beberapa kabupaten yang sudah mendapat izin definitif sebanyak 70 kelompok, namun masih ada delapan kabupaten yang belum mendapatkan izin dengan luas arealnya mencapai 35.000 hektare.

Fasilitator rembuk ini, Ichwanto M Nuch, mengajak peserta untuk mendiskusikan di masing-masing daerah, bagaimana memperjuangkan HKm di Lampung, karena belum diselesaikan oleh Kemenhut, sehingga HKm di Lampung menjadi bermasalah.

Padahal, menurut dia, Menhut menggebu-gebu untuk melaksanakan program HKm itu, tetapi masih menghadapi sejumlah hambatan.

Perwakilan petani dan unsur Dinas Kehutanan beberapa kabupaten di Lampung mengungkapkan beberapa permasalahan berkaitan izin HKm itu, seperti di Lampung Utara yang hingga kini usulan izin yang diajukan belum ada penyelesaiannya, padahal bupati setempat sudah menghubungi Menhut.

Padahal hasil verifikasi dari Kemenhut pengajuannya dinilai sudah layak, dan sudah ada tim dari Jakarta yang turun ke lokasi tapi kepastian keluar IUPHKm itu belum ada.

Kondisi serupa disampaikan perwakilan kelompok petani di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur.

Di Kabupaten Tanggamus terdapat 16 kelompok pengelola HKm yang sudah mendapatkan izin.

Keprihatinan Bersama Menanggapi permasalahan itu, perwakilan dari Dinas Kehutanan Lampung (Jimmy Ponda) membenarkan hal ini telah menjadi keprihatinan bersama.

Namun terungkap pula bahwa masih ada kekhawatiran Kemenhut, ketika izin itu dikeluarkan nantinya lahan tersebut justru akan dikuasai oleh tuan tanah.

Upaya yang dilakukan gabungan kelompok petani pengelola HKm itu ternyata juga menjadi permasalahan bersama, tidak hanya di Lampung tetapi juga terjadi di seluruh Indonesia.

Dikhawatirkan, kalau IUPHKm yang diusulkan tidak ditanggapi dan tidak segera keluar, padahal hasil verifikasi dinilai layak dan memenuhi persyaratan akan menimbulkan ketidakpercayaan kepada unsur dinas terkait di Lampung.

Para petani pengelola HKM itu menegaskan kembali tekad mereka yang bertujuan untuk mewujudkan areal hutan menjadi hijau kembali, dan siap ditinjau agar dapat melihat langsung realitas di lapangan.

Alpian, salah satu anggota kelompok pengelola HKm itu mengharapkan agar IUPHKm itu tidak menjadi berlarut-larut lagi, karena selama ini sudah merasa seperti diombang-ambing saja.

Menurut Direktur Eksekutif WATALA, Suhendri, sudah ada pertemuan dengan jaringan nasional, dan menyepakati para petani untuk mempersiapkan pertemuan dengan Menhut.

Dia berharap gerakan HKm di Lampung ini kuat, dan tidak hanya mengurus usulan dan pengeluaran IUPHKm itu.

Apalagi, sampai kini yang paling tinggi IUPHKm itu berada di Lampung, bahkan di Jambi tidak ada HKm, hanya hutan desa saja, kata dia pula.

Lampung merupakan pelopor dalam pengembangan Program HKm di Indonesia sebagai salah satu solusi untuk mengurangi kerusakan hutan di daerah ini, kata Suhendri lagi.

Menurut dia, secara nyata hutan kemasyarakatan (HKm) itu disadari telah memiliki manfaat, baik secara ekologi, sosial, dan pemerintahan.

Hingga tahun 2011, usulan pencadangan areal HKm dari bupati kepada Kementerian Kehutanan di Provinsi Lampung mencapai 37.916,406 hektare terbagi pada 27 kelompok di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Tanggamus, dan Waykanan.

“Usulan areal pencadangan ini telah diverifikasi oleh tim dari Kemenhut, dan hasil verifikasinya semua kelompok layak mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan HKm selama 35 tahun,” kata dia pula.

Namun, dia mengungkapkan, sampai saat ini kelompok-kelompok HKm yang telah menunggu terbit IUPHKm sejak dua tahun lalu yang juga tidak kunjung dikeluarkan oleh pihak berwenang.

Padahal beberapa kali diskusi telah dilakukan perwakilan kelompok pada forum resmi di tingkat daerah maupun regional, bahkan hingga ke tingkat nasional, untuk memberikan keyakinan yang diperlukan bagi Menteri Kehutanan, ujar dia lagi.

Suhendri mengemukakan, akibat belum adanya penerbitan izin kelola HKm oleh Menhut itu, telah menimbulkan beberapa persoalan di lapangan, yaitu muncul keresahan masyarakat pengelola hutan dengan ketidakpastian akses tenurial tersebut, juga melemahkan kepercayaan masyarakat pengelola hutan atas program Kemenhut yang dikampanyekan sebagai peduli masyarakat miskin (pro-poor).

“Penundaan izin HKm di Lampung itu juga menjadikan target areal HKm seluas 500.000 ha pada 2012 tidak akan tercapai,” ujar dia.

Karena itu, sejumlah kelompok pengelola hutan bersama WATALA mengadakan Rembuk Petani Hutan Kemasyarakatan di Lampung, bertujuan untuk mengkonsolidasikan seluruh kekuatan rakyat terutama petani HKm dalam memperjuangkan hak-haknya menuju penerbitan izin (IUPHKm) selama 35 tahun.

WATALA mengharapkan, agar rembuk petani HKm itu dapat mendorong kelompok pengelola HKm di Lampung semakin solid dan dapat menghimpun kekuatan untuk melakukan upaya nyata guna mendapatkan hak IUPHKm, sekaligus menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah dan pihak terkait.

Rembuk Petani HKm di Lampung mengundang kehadiran 37 perwakilan kelompok petani HKm dari beberapa kabupaten di Lampung, unsur Kemenhut, Dinas Kehutanan Lampung, dan sejumlah wartawan. (ANT/L-1)

Penggarap Register 22 terancam Lapar

                                                                                                               gambar ilustrasi

BANDARLAMPUNG – Keputusan tim khusus (timsus) penyelesaian sengketa lahan yang menetapkan status quo di Register 22 Way Waya, Pringsewu, akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan ratusan warga penggarap lahan itu.

’’Ratusan warga bergantung dengan hasil di lahan garapan itu. Nah, kalau status quo diberlakukan sampai waktu tak jelas, bagaimana warga tidak terancam kelaparan?” tanya Dharsono, salah seorang warga yang mengantongi surat keterangan tanah di lahan itu, ketika datang ke Graha Pena Lampung kemarin.

Karena itu, Dharsono mewakili warga lainnya berharap status quo tersebut cepat dicabut kembali.

Pada rapat 19 April 2012, Asisten I Pemkab Pringsewu Firman Muntako menjelaskan, temuan tim ke lokasi bahwa surat-surat kepemilikan tanah oleh kelompok penggugat kelompok Firman alias Belentung tidak sah. Alasannya, dibuat pada 1959. Di mana, status tanah waktu itu adalah Register 22 Way Waya. Pada 1997 ada program transmigrasi lokal ke Mesuji. Mereka yang diberangkatkan merupakan penggarap Register 22 itu.

Dengan demikian, kelompok Firman tidak berhak lagi menuntut lahan yang ditinggalkan karena telah mendapat ganti lahan garapan di lokasi transmigrasi itu seluas 2 hektare berikut satu rumah semipermanen. ’’Dengan fakta ini, maka pemkab tak perlu menanggapi pengaduan mereka. Kalau memang ingin menggugat, tempuh saja jalur hukum,” ujar Dharsono lagi.

Sementara menyusul penetapan satus quo dan adanya penambahan keterlibatan elemen, timsus penyelesaian sengketa lahan yang dibentuk Pemkab Pringsewu diminta menyelesaikan persoalan yang terjadi di Register 22 sampai ke akarnya.

Serikat Tani Indonesia (Sertani) yang selama ini ikut aktif melakukan pendampingan di wilayah itu melalui sekretarisnya, Agustinus Triana, berharap timsus bekerja sampai menuntaskan akar persoalannya agar konflik Register 22 tak terus timbul.

’’Kami minta penyelesaian sengketa lahan ini diselesaikan secara tuntas. Terlebih timsus juga menambah anggotanya yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan ini,” tuturnya kemarin.

Agustinus menambahkan, ini agar mereka yang benar-benar berhak dapat menikmati haknya. Terutama masyarakat kecil di wilayah itu, meski hanya memiliki garapan atau tanah sedikit juga dapat terlindungi.

’’Dugaan adanya oknum yang memiliki lahan sampai 175 hektare, itu perlu dipertanyakan keabsahannya. Yang harus dilindungi justru masyarakat kecil,” katanya.

Terkait penetapan status quo di lahan itu memang diperlukan. Ini untuk menghindari konflik horizontal. ’’Status quo perlu diterapkan agar tak timbul konflik antarpenggarap. Ini diberlakukan selama proses belum selesai. Warga sendiri sangat berharap agar lahan itu juga tak digarap terlebih dahulu,” ungkapnya. (rnn/sag/c2/adi)

Pemkab Pringsewu Bentuk Timsus Register 22 Way Waya

TRIBUNNEWS.COM, PRINGSEWU – Pemerintah Kabupaten Pringsewu membentuk tim khusus (timsus) penanganan Register 22 Way Waya.

Menurut Aisten Bidang Pemerintahan Firman Muntako tim tersebut melibatkan di antaranya kepolisian, TNI, Dinas Kehutanan, dan unsur pimpinan kecamatan (Uspika).

“Tim dibentuk hari ini (kemarin) juga, SK-nya ditandatangani bupati,” tukasnya, Selasa (17/1) yang ditemui usai rapat pembahasan Register 22 di ruang kerja bupati Pringsewu.

Diuraikan dalam rapat tersebut, lanjut Firman, tim khusus penanganan Register 22 itu diberi waktu satu bulan.

Selama kurun waktu tersebut, tim harus sudah melaksanakan inventarisasi soal lahan pengganti dan pemilik awal lahan yang kini menjadi sengketa. “Diinventarisasi juga lahan yang dilepaskan menteri kehutanan,” kata Firman.

Ia menyatakan bahwa penanganan di Register 22 Way Waya tidak semudah membalikan telapak tangan. Tim yang terdiri dari beberapa instansi ini harus melakukan berkali kali rapat, dan mengadakan pertemuan.

“Harus penelitian berkas, harus segala macam, sulit, kita harus melibatkan semua pihak bagaimana menyelesaikan kasus antara masyarakat di sana,” tambahnya.

Menurutnya upaya pembentukan tim merupakan langkah antisipatif terjadinya konflik horizontal.

Firman mengungkapkan di lokasi seluas 175 hektare tersebut terdapat tumpang tindih kepemilikan tanah. (robertus didik)

Tribun News 18 Januari 2012

TIM PEMKAB BERTEMU DPRD.

Radar Lampung, 14 Mei 2012
Bahas Penyelesaian Konflik Register 22


PRINGSEWU — Tim penyelesaian lahan register 22 Way Waya di Kecamatan Pagelaran, juga membutuhkan dukungan dari legislatif. Tim bentukan Pemkab Pringsewu itu Senin (14/5) akan melakukan rapat dengar pendapat dengan anggota DPRD Pringsewu.
Ketua tim penyelesiaan register 22 Hi. Firman Muntako, S.E., mengaku terus berupaya menyelesaikan persoalan sengketa lahan tersebut. Pihaknya juga akan meminta masukan dari DPRD Pringsewu. “Kami terus berupaya melakukan penyelsaian secepatnya, meski targetnya 3 bulan. Kami juga akan melakukan pertemuan dengan dewan,” ungkap Firman Muntako yang juga menjabat sebagai Asisten I Pemkab Pringsewu itu.
Pertemuan dengan pihak legislatif tersebut, menurut Firman, guna menyerap aspirasi dari anggota DPRD. Terlebih para wakil rakyat itu juga yang mengerti konflik di lahan tersebut sejak beberapa tahun sebelumnya.
“Tim meminta masukan dari dewan, apa langkah yang mesti dilakukan,” akunya.
Menurutnya, tim juga akan melaporkan hasil kerja selama ini dalam mengumpulkan data di lapangan. ”Supaya apa yang menjadi keputusan Tim ada penyelesaian secara bijaksana dan tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya.
Asisten I Pemkab Pringsewu itu juga berharap, warga tetap bersabar dan tidak mudah terprovokasi. “Serahkan saja pada tim untuk menyelesaikan persoalan ini,” pungkasnya.
Terpisah, Firman dari Pekon Giritunggal, yang terkait dengan persoalan ini sangat berharap sengketa lahan segera dituntaskan. ”Jangan sampai 3 bulan waktunya. Mengingat saat ini tanah yang belum jelas status penyelesaianya, sudah ada warga yang akan memulai kembali aktifitas penggarapan,” akunya.
Dengan tempo tiga bulan penyelesaian dia khawatir warga akan saling klaim dan akan berebut untuk menggarap. ”Segera saja diselesaikan, kami takut warga saling klaim berebut menggarap,” pesannya. (kim)

Fokus Selesaikan sengketa Lahan


Jumat, 25 Mei 2012
PRINGSEWU — Timsus register 22 Way Waya yang dibentuk Pemkab Pringsewu masih mengusulkan persoalan patok dan tapal batas antara hutan register dan tanah marga. Ini menunjukkan bila timsus masih focus pada penyelseaian sengketa bukan pada usulan hutan kemasyarakatan (HKm).
Ketua Timsus Firman Muntako yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/5), usulan ke Dinas Kehutanan  Provinsi Lampung terkait patok dan tapal batas antara hutan dan tanah marga selanjutnya nanti akan dijadikan acuan.
Untuk itu kini pihaknya tengah menginventarisir data pemillik pemilik lahan. Baik dari Pekon Sumberbandung dan Pekon Giritunggal.
“Kedua pihak di wilayah register 22 yakni Makmun dan Firman Blentung juga kami libatkan. Hal ini dimaksudkan agar datanya bisa lebih akurat. Setelah itu baru dilakukan pengecekan kembali,” katanya.
Masyarakat, menurut Firman, diminta tidak gampang terprovokasi. Terutama masalah pemasangan patok untuk kawasan register dan tanah marga. “Masyarakat agar menahan diri dan tidak terpancing terkait pematokan. Karena yang berhak melakukan pematokan adalah timsus,” tegasnya.
Terkait usulan hutan kemasyarakatan (HKm), Ketua Timsus Firman Muntako, belum pernah ada usulannya. ”Untuk usulan HKm belum pernah ada, Pemerintah Kabupaten Pringsewu masih akan menyelesaikan persoalan sengketa lahan,” tandasnya. (kim)

Sumber : Radar Tanggamus

Gubernur Syachruddin: Register 22 Urusan Daerah


ANDARLAMPUNG–MICOM: Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menegaskan penyelesaian sengketa lahan di Register 22 sepenuhnya dipercayakan kepada Pemkab Pringsewu.

Sjacroedin menegaskan dirinya tidak ingin meniru penyelesaian kasus sengketa yang selama ini ditangani pemerintah pusat. Ia mencontohkan penanganan kasus sengketa di Mesuji dan Register 45.

“Ujuk-ujuk (tiba-tiba) pemerintah pusat mengambil alih penyelesaaian dengan membentuk TGPF. Ternyata juga tidak

menyelesaikan masalah. Dan kembali persoalan tersebut diserahkan ke daerah,” ujarnya, Rabu (18/4).

Dikatakan, dirinya tidak menginginkan penyelesaian persoalan itu dengan model pemerintah pusat. “Saya tidak ingin model penyelesaian seperti itu. Kalau seperti itu, bubarkan saja provinsi. Untuk apa ada pemerintah provinsi kalau semua persoalan, sedikit-sedikit, di-handle pemerintah pusat,” tambahnya.

Sjachroedin menegaskan, dirinya berharap bupati dan wakil bupati mampu menangani ini. Sebab, kalau berlarut-larut akan menghambat pembangunan. “Kalau tidak sanggup, baru Provinsi akan ambil alih,” imbuhnya.

Seperti diketahui, terjadi sengketa lahan di kawasan hutan Register 22 di Kabupaten Pringsewu. Sengketa itu memiliki potensi konflik terbuka apabila pemerintah tidak segera menyelesaikan sengketa lahan yang merugikan petani di daerah itu.

Berdasarkan surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 742/MENHUT-II/2009 tentang penetapan sebagian kawasan hutan lindung kelompok Way Waya Register 22, seluas 175 hektare sebagai kawasan hutan tetap dengan

fungsinya sebagai hutan lindung.

Sekretaris Umum Dewan Pengurus SERTANI, Agustinus Triana, mengatakan, pembentukan tim khusus harus segera dilakukan agar dapat meminimalisasi terjadinya konflik agraria yang melibatkan masyarakat. Khususnya petani di Pekon Madaraya, Neglasari, Sumberbandung Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

“Petani telah melakukan proses kepada Menteri Kehutanan RI yang meminta supaya SK MENHUT Nomor 742 itu dibatalkan karena petani merasa ditipu,” kata Agustinus, di Pringsewu, Rabu (18/4). (NV/OL-3)

Masuk Tahap Indentifikasi Lahan

Radar Tanggamus,  Selasa, 07 Februari 2012

Warga Diminta Tak Terprovokasi
PRINGSEWU – Warga yang ada di Register 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, diminta tetap bersabar menunggu proses penyelesaian wilayah itu yang kini sudah masuk pada tahap indentifikasi kepemilikan lahan. Untuk itu warga diminta tak mudah terprovokasi, guna menjaga situasi tetap kondusif.
Bupati Pringsewu KH. Sujadi, seusai acara rakor bulanan Pemkab Pringsewu, di aula Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu, Senin (6/02), memberkan panitia penyelesaian sengketa lahan register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu mulai memasuki tahap identifikasi kepemilikan lahan.
”Karena sengketa lahan sudah berlangsung sejak 1980-an tentu saat ini banyak yang tumpang tindih hak kepemilikannya,” katanya.
Untuk itu masyarakat dipersilahkan untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan. Ini dilakukan untuk melihat siapa yang sebenarnya berhak memiliki lahan tersebut. Agar nantinya selesai dahulu kepemilihan tanah atau lahan di sekitar register tersebut.
“Pada prinsipnya panitia penyelesaian sengketa lahan intens melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, bersama legilatif dan pihak terkait. Sebab masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan masyarakat. Apalagi dalam persoalan sengketa lahan terdapat SK Menhut, jika SK Menhut akan di tinjau kembali tentu tidaklah semudah meninjau SK bupati,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penyelesaian Sengketa Lahan Register 22 Way Waya Firman Muntako menyatakan untuk penelusuran ini sudah sekitar 100 orang yang dipanggil untuk dimintai keterangannya, terkait kepemilikan lahan di wilayah sengketa register 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu.
Menurutnya, tim harus hati-hati, mengingat banyak data dari berbagai versi baik dari Serikat Tani Indonesia (Sertani), dan para pemilik seperti milik Darsono, Makmun. Tim juga, menurut Firman, harus melihat data dari pekon. ”Intinya tim harus terus melakukan kroscek terhadap semua data yang masuk,” akunya.
Lanjut Firman Muntako, warga di sekitar wilayah tersebut seperti warga Pekon Giritunggal dan Margosari, sudah banyak yang ikut program transmigrasi lokal (translok) ke daerah lain. Sehingga secara adminitrasi mereka tidak berhak lagi menguasai lahan di tempat tinggalnya semula.
“Ada sekitar 200-an KK pernah diberangkatkan menjadi warga translok jadi perlu ada pendataan lagi dan untuk menyelesaikan sengketa lahan di kawasan register 22 Way Waya secara konfrehensif. Apalagi bermunculan data dari berbagai versi,“ bebernya.
Terkait munculnya ancaman sebagian warga yang akan menggelar unjuk rasa jika dalam satu bulan tidak adapenyelsaian. Ketua Tim yang juga Asisten I Pemkab Pringsewu Firman Muntako menyatakan, siapaun orangnya jika hanya diberi waktu satu bulan untuk menyelsaikannya tidak akan bisa tuntas.
”Masyarakat kami minta bersabar berikan kepercayaan kepada tim pemkab untuk melaksanakan tugasnya. Warga  jangan terprovokasi,” pintanya. (kim)