Category: Ekonomi

Harga Lada Bandar Lampung Bertahan Tinggi

BANDARLAMPUNG (Lampost.com): Harga lada di tingkat pedagang Bandarlampung pada pekan ini bertahan tinggi yakni Rp105.000 per kg untuk lada putih dan lada hitam Rp53.000 hingga Rp55.000 per kg.
“Pasokan lada masih cukup lancar, tapi harganya masih bertahan tinggi,” kata Arsi penjual lada di Pasar SMEP, Bandarlampung, Selasa.

Ia mengatakan, meski harganya tinggi, tetapi tidak mempengaruhi penjualan bumbu dapur yang bercita rasa pedas tersebut.

“Omzet penjualan stabil mekipun harga sedang tinggi,” kata dia.

Tingginya harga lada itu, menurut dia, karena kualitasnya cukup bagus, di samping itu pihak agen pun telah memberikan harga tinggi.

Ia mengaku memilih membeli lada dari agen, mengingat kualitasnya cukup bagus.

Dikatakan, jika membeli langsung dari petani dikhawatirkan akan dicampur dengan barang yang jelek.

Asri menambahkan, membeli dari agen dapat memilih barang yang bagus dan kualitasnya pun terjamin, meskipun harganya tinggi bila dibandingkan dengan harga jual petani.

“Saya tidak ingin mengecewakan pembeli, karena itu mencari barang kualitas bagus untuk dijual,” ungkapnya.

Sementara itu, Paiman, pedagang bumbu dapur di Pasar Tugu, Bandarlampung mengatakan, dirinya mengeluhkan tingginya harga lada, sehingga membuat pedagang pengecer sulit menentukan harga jual.

“Para agen dan pedagang besar memberikan harga jual yang tinggi,” ujarnya.

Namun, meskipun harga tinggi, lanjutnya, kualitas yang diberikan masih bagus, sehingga kendati mahal, tidak jadi masalah.

Selain itu, menurutnya, dengan tingginya harga, membuat pedagang harus mengeluarkan modal lebih guna mendapatkan barang yang bagus, agar lada laris terjual.

Mengenai omzet penjualan, tuturnya, masih stabil, karena lada pasti akan dicari oleh konsumen, sebab sebagai bahan utama bumbu masak.

Kabupaten Lampung Barat, Waykanan dan Lampung Utara merupakan sentra perkebunan lada di Lampung. (ANT/AST/L-1)

Petani Bisa Kaya ?

Dedy Mawardi

Advokat, Direktur Supremacy Institute

PERLU berhari-hari saya mencoba untuk memahami dan mengerti hasil seminar revitalisasi pertanian dan perkebunan dengan tema Petani bisa kaya yang diselenggarakan harian Lampung Post dan Dewan Perwakilan Daerah di Hotel Sheraton beberapa minggu yang lalu.

Maklum saja, karena saya bukan ahli pertanian atau perkebunan, tapi saya sangat tertarik dengan tema seminar itu: Petani bisa kaya. Menurut ukuran saya yang tidak paham tentang pertanian dan perkebunan ini, ukuran petani kaya bukanlah seperti sosok Bob Sadino.

Kepemilikan Tanah

Dalam bayangan saya, petani kaya adalah sosok seorang petani yang tinggal di perdesaan atau pinggiran kota yang punya lahan pertanian agak luas (2 hektare saja). Ia bisa hidup dan menghidupi anak-anak dan keluarganya atau bisa hidup sejahtera dari hasil garapan lahan pertaniannya.

Tanah merupakan modal utama seorang petani. Tanpa memiliki tanah, seseorang tak bisa disebut sebagai petani. Idealnya, seorang petani memiliki tanah seluas 2 hektare (Undang-Undang Pokok Agraria). Modal kedua petani adalah dana untuk memodali usaha pertaniannya. Kemudian baru masalah infrastruktur, regulasi, dan sebagainya sebagai modal aksesori petani.

Lantas saya bertanya kepada diri sendiri, apakah seorang petani di Lampung ini punya lahan pertanian yang cukup luas sebagai hak milik? Kalau memang ada, berapa persen petani di Lampung yang memiliki lahan 2 hektare dari 700 ribu hektare lahan tanaman pangan dan perkebunan seperti yang disampaikan direktur utama PTPN VII dalam seminar itu?

Kedua, soal modal atau pendanaan yang dimiiki seorang petani untuk menggarap lahan pertaniannya. Berapa persen petani yang bisa mendapatkan modal uang dari pinjaman yang dikelola bank nasional dan daerah? Pertanyaan terakhir, apakah pemerintah (pusat dan daerah) sudah konsisten menerapkan kebijakan dan regulasi pertanian-perkebunan yang memberi keuntungan bagi kepentingan petani yang hidup di desa dan pinggiran kota?

Provinsi Lampung ini adalah daerah yang subur untuk budi daya tanaman pertanian dan perkebunan. Menurut data yang muncul dalam seminar itu, ada 700 ribu hektare lahan pertanian dan perkebunan yang terhampar di provinsi ini. Infrastruktur pertanian pun relatif memadai.

Masyarakatnya mayoritas adalah petani. Logika lurusnya, jika luas tanah dan infrastruktur pertanian seperti itu luasnya, boleh dibilang petaninya bisa kaya. Tapi sayang sekali, logika berbanding lurus itu tak terwujud di provinsi ini.

Menurut data yang ada, Lampung ini masuk golongan daerah miskin di Sumatera (peringkatnya setingkat di atas Bengkulu). Berarti, mayoritas penduduk yang berprofesi petani secara otomatis bisa dibilang tidak kaya. Dari sini saya mulai mengerti, mengapa diselenggarakan seminar tersebut dengan mengambil tema Petani bisa kaya.

Perusahaan

Satu tema yang diangkat dari realitas sesungguhnya tentang petani di Lampung yang masih tidak kaya. Lantas pertanyaan kritisnya, siapa sesungguhnya pemilik lahan pertanian dan perkebunan seluas 700 ribu hektare itu?

Ternyata, pemilik lahan 700 ribu hektare itu sebagian besar adalah perusahaan perkebunan swasta dan milik negara. Rata-rata luas lahan yang dikuasai perusahaan swasta dan negara di Lampung ratusan sampai ribuan hektare.

Lahan seluas mata memandang tersebut ditanami singkong, kelapa sawit, tebu gula, nanas, dan tanaman perkebunan lainnya. Perusahaan besar swasta dan negara inilah sesungguhnya “penguasa” produk atau hasil pertanian dan perkebunan terbesar di Lampung saat ini.

Dengan demikian, boleh saya katakan para pemilik perusahaan swasta dan negara inilah yang pantas disebut sebagai “petani kaya” di Lampung. Merekalah yang sebagian berkumpul dan berdiskusi soal Petani bisa kaya dalam seminar di Hotel Sheraton itu.

Sementara petani yang sesungguhnya, yang sebagian besar tinggal di perdesaan dan pinggiran kota, masih hidup dalam gelimang kemiskinan. Petani yang masuk kategori terakhir ini tidak banyak yang memiliki tanah lebih dari 2 hektare.

Mereka bertani dan berkebun di atas tanah atau lahan milik orang lain. Status mereka umumnya penggarap, tumpang sari, atau penyewa. Bahkan, banyak petani miskin yang juga tinggal di sekitar tanah perkebunan dan pertanian milik perusahaan-perusahaan besar swasta dan negara.

Mereka miskin karena tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertani dan berkebun. Hasil penjualan tanaman pertanian dan perkebunan mereka tidak cukup untuk ditabung.

Penghasilan mereka habis untuk makan bulanan, bahkan ada yang tidak mencukupi sehingga mereka tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Petani miskin seperti inilah yang mayoritas yang hidup dan tinggal di Lampung.

Paradoks

Jadi, kemiskinan petani ini paradoks dengan kekayaan yang dimiliki oleh pemilik perusahaan perkebunan dan pertanian yang menguasai tanah dan modal secara berlebihan. Realitas dan faktanya, petani Lampung saat ini adalah miskin. Petani yang kaya adalah para pemilik perusahaan perkebunan dan pertanian swasta dan perusahaan negara seperti PTPN VII.

Realistiskah jika ada keinginan dari para “petani kaya” itu ingin membuat para petani sebenarnya menjadi kaya, sebagaimana yang digagas di seminar dengan tema Petani bisa kaya di Hotel Sheraton itu?

Saya tak berani membayangkannya, tapi saya mencoba untuk tetap berpikir sambil mendengarkan syair lagu dangdut yang dinyanyikan Rhoma Irama “… yang kaya makin kaya…”

Sumber : Lampost  11 Februari 2012.

Kangkung Lobar Tembus Amerika

GIRI MENANG–Kangkung Lombok Barat (Lobar) banjir permintaan. Kali ini, order datang dari pengusaha asal Amerika yang meminta suplai kangkung 100 ton setiap minggunya.  “Ini menjadi tantangan bagi kami untuk memenuhi kebutuhan pasar Amerika,” kata Kepala Dispertanakbun Lobar, Chairul Bahtiar, kemarin.”Diungkapkan Bahtiar, sebagai tindaklanjut atas permintaan tersebut, sang pengusaha asal Amerika ini rencananya akan datang minggu ini. Dalam pertemuan nanti akan dibuat semacam perjanjian dagang antara dinas dengan pengusaha.

“Sedianya, permintaan pasar Amerika terhadap kangkung Lobar, diakui Bahtiar, sudah lama disampaikan namun baru terealisasi. Pengiriman perdana kangkung ke negeri Paman Sam ini rencananya baru akan dilakukan awal 2012 mendatang.  “Sengaja kami pilih awal tahun biar bersamaan dengan peluncuran program kangkung go internasional,” tandasnya.

“Selain Amerika, dinas juga memetakan sasaran pengiriman kangkung ke Jepang. Namun untuk ke negara tersebut masih sebatas promosi karena belum ada keseriusan yang ditunjukkan para pengusaha Jepang. Promosi lewat media elektronik dan cetak serta forum resmi juga terus digencarkan untuk memuluskan rencana kangkung go internasional.

“Sebelumnya, di tahun ini kangkung Lobar juga sudah menembus beberapa pasar negara asia tenggara seperti Malaysia dan Singapura. Ada juga pengiriman ke beberapa negara Timur Tengah seperto Arab Saudi.

Di 2012 mendatang, dinas juga berencana menambah luas areal penanaman kangkung dari 150 hektare menjadi 300-350 hektare. Diyakini Bahtiar dengan pola tanam yang lebih inovatif, produksi kangkung di beberapa bulan ke depan akan meningkat sehingga mampu memenuhi permintaan pasar.

Di samping itu, dari segi prasarana, dinas juga akan mendapat bantuan dari berbagai pihak. Di antaranya permohonan bantuan senilai Rp 5 miliar yang diajukan dinas ke Pertamina pusat yang diantaranya diberikan dalam bentuk 2 unit mobil boks dan ruang pendingin. “Masing-masing mobil boks berkapasitas mengangkut 30 ton,” ujarnya.

“Dinas juga akan makin memantapkan kemasan kangkung yang dikirim agar lebih bernilai ekonomis. Biasanya, kangkung di pasar lokal dijual Rp 1.500 per lima ikat, namun jika sudah dikemas diperkirakan mencapai Rp 15 ribu.

Untuk mewujudkan target tersebut, pihaknya akan bekerjasama dengan kelompok tani kangkung yang ada di Lobar. Dinas dalam hal ini hanya berkapasitas memberi bantuan teknis, manajemen dan modal usaha serta pembinaan.

“Menurutnya, budidaya kangkung memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan varietas lain seperti padi. Untuk satu musim tanam, petani kangkung bisa meraup omzet Rp 18-24 juta per hektare. Selain itu, penyerapan tenaga kerja di usaha ini juga lebih banyak yakni diperkirakan sebanyak 8-12 orang akan dipekerjakan dalam satu hektare per satu musim tanam.(ida)

Manggis Tanggamus Kini Diekspor

MANGGIS (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis primadona ekspor Indonesia. Di mana, tahun 2006, ekspor manggis mendominasi buah-buahan Indonesia. Kabupaten Tanggamus berhasil menembus pasar ekspor manggis ke negara tujuan, seperti Singapura dan Taiwan, dengan volume ekspor 30 persen dari total produksi.

Selain Singapura dan Taiwan, sejak 1994, buah hitam manis ini juga diminati di kawasan Timur Tengah. Beberapa negara Asia lain seperti Jepang, Hongkong, dan Thailand, juga menjadi daerah tujuan pengirimannya. Kontribusi ekspor manggis terhadap total ekspor buah-buahan nasional adalah sebesar 37,4%. Sedangkan konstribusi produksi manggis adalah hanya 0,5% dari total produksi nasional. Ini mengantarkan manggis menjadi buah-buahan andalan ekspor Indonesia.

Apalagi komoditas ini merupakan unik dan spesifik daerah tropis, sehingga pesaingnya tidak banyak. Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan mengatakan jumlah produksi manggis di Tanggamus sebesar 9.688 ton per tahun. Jumlah itu dari tanaman sebanyak 1.468 ha dan 902 ha di antaranya sudah menghasilkan manggis. Pohon-pohon manggis ini tersebar di areal perkebunan warga di dekat lereng Gunung Tanggamus. Selain manggis, kawasan ini juga kaya buah-buahan lain. Seperti avokad, cempedak, durian, dan duku.

Buah-buahan ini baru dikirim ke pasar lokal, seperti Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, dan sejumlah kota besar di Pulau Jawa. Seperti, Semarang dan Surabaya. Pada umumnya tanaman manggis di Tanggamus sudah berumur lebih dari 100 tahun. Peremajaan tanaman baru dilakukan akhir tahun 1990-an. Sebagian besar tanaman manggis merupakan tanaman pekarangan, kebun campuran, dan ditanam pada daerah perbukitan/hutan. Pemeliharan tanaman relatif tidak ada. Biasanya petani hanya menunggu panen manggis. Ketersediaan bibit manggis sangat sulit karena pohon induk yang berkualitas masih sangat jarang. (SAYUTI/D-3) ======

Produktivitas Manggis Produktivitas pohon manggis di Tanggamus rata-rata 30-70 kg per pohon, produktivitas ini masih tergolong rendah. Masalah lain adalah kualitas buah manggis untuk ekspor sangat rendah, hanya 10% layak ekspor dari total produksi. Hal ini disebabkan getah kuning mencapai 20% dan burik buah 25%. Meskipun keberadaan manggis di sini bersifat lokal, tapi dari segi rasa sangat manis dan produksinya relatif tinggi. Sementara itu, saat ini, dukungan Pemerintah Kabupaten masih dalam bentuk bantuan bibit manggis. Karena, potensi wilayah pengembangan manggis masih tersedia 5 ribu hektare. Bantuan Pemkab telah dilakukan sejak tahun 2004 pada 5 kecamatan sebagai sentra pengembangan tanaman buah yang diserahkan pada 27 kelompok tani.

Di Kecamatan Kotaagung seluas 492 ha, Kecamatan Kotaagung Timur seluas 150 ha, Kecamatan Kotaagung Barat seluas 230 ha, Kecamatan Wonosobo 175 ha dan Kecamatan Pulau Panggung 164 ha. Di lain pihak, Ketua KT Usaha Tani Maju I Pekon Penanggungan Kecamatan Kotaagung, Basuni, menambahkan Departeman Pertanian) (Deptan) hendaknya mematenkan manggis unggulan dari Kotaagung bernama Petir. “Luas tanaman manggis di daerah kami 902 hektare dengan produksi 9.688 ton per tahun. Buah manggis ini diekspor ke Singapura dan Taiwan.

Namun, belum dipatenkan oleh Deptan,” kata Basuni. Sementara itu, Australia bakal memborong habis buah manggis varietas Sabuari asal Tanggamus untuk kemudian dipasarkan di negeri Kanguru tersebut. Kesiapan negara kanguru membeli manggis asal Tanggamus itu diungkapkan sejumlah investor asing usai meninjau areal perkebunan manggis Kelompok Tani Doa Ibu, di Pekon Menggala, Kecamatan Kotaagung Timur, beberapa waktu lalu. Sampai saat ini, menurut Joko, manggis saburai menjadi satu-satunya buah yang telah mendapatkan Sertifikasi Prima 3 di Provinsi Lampung. Dengan Sertifikat Prima 3 tersebut, kata dia, manggis Saburai telah memenuhi kualitas standar ekspor. (SAYUTI/D-3)

Hebat Kaum tani makan Beras Import

H. Bambang Eka Wijaya

 

“KALAU rasa nasi kita agak aneh, jangan protes! Soalnya, di warung ada beras impor harganya lebih murah!” tutur ibu. “Kupikir pasti hebat, kita kaum tani makan beras impor!”

“Memang hebat!” timpal ayah. “Apalagi paceklik gagal panen sawah tadah hujan akibat kemarau panjang! Cuma, apa ceritanya beras impor bisa nyasar ke warung desa, padahal beras impor biasanya untuk TNI-Polri dan pegawai negeri?”

“Justru karena jatah pegawai negeri, kata orang di warung bisa lebih cepat beredar ke pasar!” jawab ibu. “Banyak pegawai negeri tak doyan beras catu, saat terima langsung ditukar beras Pandan Wangi atau Rojolele! Jadi wajar rasanya kurang enak!”

“Apa pun rasanya kita libas saja dengan bangga, makan beras impor!” tegas ayah. “Orang kota malah keranjingan barang impor, mulai mobil, pakaian dan aksesori sekujur tubuh, sampai parfum merek impor! Kenapa harus kecil hati makan beras impor, apalagi kita gagal panen!”

“Tapi orang-orang di warung mengeluh!” timpal ibu. “Kata mereka, masuknya beras impor yang murah merugikan petani Lampung, yang beras produknya berharga tinggi! Jika pasar dibanjiri beras impor murah, 13 September lalu masuk 13.100 ton, pekan ini 21 ribu ton, genap 60 ribu ton akhir tahun, bisa merontokkan harga beras lokal!”

“Hukum ekonomi begitu! Saat pasokan berlimpah harga turun, apalagi yang berlimpah itu harganya rendah!” tukas ayah. “Para petani Lampung yang bangga dengan nilai tukar petani (NTP) provinsi 123,37 pada Agustus 2011 tertinggi nasional, pasti terusik dengan ancaman penurunan harga hasil panennya akibat dibanjiri produk impor yang harganya jauh di bawah produk lokal!”

“Apalagi, pembanjiran beras impor itu dilakukan Bulog seolah menolak tekanan para politisi DPRD Provinsi agar Bulog membeli beras petani Lampung!” timpal ibu. “Bukan beras petani yang dibeli Bulog seperti diharapkan para politisi, malah beras impor yang dibanjirkan ke Lampung!”

“Kewajiban Bulog membeli beras petani!” tegas ayah. “Kewajiban itu implementasi dari tugas negara dan pemerintah membina petani! Kalau kewajiban itu diingkari, malah berorientasi sistem pasar, berarti kewajiban membina petani dalam melindungi petani dari kejamnya hukum pasar, sudah dilalaikan oleh pemerintah!”

“Sekarang zaman ekonomi neolib, petani juga harus bersaing melawan raksasa di pasar!” timpal ibu. “Salah satu raksasa yang harus dilawan kaum tani lemah itu, justru Bulog—yang seharusnya mengatrol naik harga produk petani, tapi malah memelorotnya lewat mekanisme pasar!” ***

STOK PANGAN: Pringsewu Surplus 23.399.280 Ton Beras

PRINGSEWU (Lampost): Kabupaten Pringsewu tidak akan repot menghadapi kebutuhan beras menjelang Idulfitri mendatang. Pasalnya, kebutuhan beras setiap bulannya hanya sekitar 3.042.360 ton. Artinya, konsumsi beras sejak Maret hingga Agustus (6 bulan) mencapai 18.254,160 ton, sedangkan total produksi beras musim rendeng mencapai 41.653.440 ton.

“Itu artinya Pringsewu surplus beras sebanyak 23.399.280 ton,” kata Kadis Perkebunan, Kehutanan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Pringsewu Junaidi Hasyim kemarin (12-8).

Menurut dia, secara umum stok pangan di Pringsewu khususnya beras aman. Beberapa hal yang memengaruhi adalah luas panen padi pada musim tanam (MT) rendeng yang lalu (Maret—Mei 2011) 12.856 hektare, dengan produksi padi per hektare mencapai 6 ton.

Luas lahan persawahan itu menghasilkan padi gabah kering panen (GKP) 77.136 ton, sedangkan untuk gabah kering giling (GKG) mencapai 66.422,4 ton. Dari GKG menjadi beras rendemen 60% sebanyak 41.653.440 ton. Dan jumlah itu menjadi total produksi beras Pringsewu.

Kemudian, perbandingan dengan jumlah penduduk Pringsewu saat ini sebanyak 368.771 jiwa, dengan kebutuhan income per kapita per tahun (standar provinsi) sebanyak 99 kg, sedangkan standar nasional 136 kg/tahun.

Dengan kebutuhan tersebut, menurut Junaidi Hasyim, berarti kebutuhan beras per tahun untuk masyarakat Pringsewu 36.508,329 ton, sedangkan kebutuhan beras per bulan mencapai 3.042,360 ton.

Dia menambahkan untuk perkiraan panen Agustus 2011 seluas 1.533 hektare dengan asumsi produktivitas per hektare 5,8 ton, sehingga total produksi untuk musim gaduh 2011 mencapai 8.891,4 ton GKP.

Dengan demikian, dari hasil analisis, kebutuhan beras selama bulan puasa hingga Lebaran masih dalam kondisi aman. (WID/D-1)

Pemerintah Belum Propetani

Jumat, 05 August 2011 00:53

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah belum berpihak kepada petani kecil di perdesaan. Kebijakan pemerintah lebih banyak memberi kemudahan untuk petani besar yang mayoritas dikuasai perusahaan.

Petani masih dihadapkan pada persoalan klasik, seperti masalah ketersediaan lahan, infrastruktur, sarana produksi pertanian (saprodi), dan fluktuasi harga komoditas pertanian.

Demikian benang merah diskusi pertanian terbatas yang digelar di ruang rapat Lampung Post, Kamis (4-8). Diskusi yang dipandu Redaktur Pelaksana Lampung Post Iskak Susanto itu menghadirkan narasumber dari aktivis dan peneliti pertanian Surono Danu, anggota DPD Anang Prihantoro, dan Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Asan.

Narasumber lain, yakni Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Lampung Emilia Kusumawati, Kasi Kacang dan Umbi Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Lampung Suhatril, Pembantu Direktur II Politeknik Negeri Lampung Joko S.S. Hartono, dan petani sukses Nursalim yang juga sebagai ketua DPW PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia).

Anang Prihantoro menilai pemerintah salah menerapkan strategi pertanian. Bantuan yang disalurkan kepada petani melalui kelompok tani bukan untuk menyejahterakan petani. “Kelompok tani terbentuk hanya untuk menerima bantuan,” ujarnya.

Karena orientasinya sekadar menerima bantuan, akibatnya petani jagung dan padi tidak lebih pintar daripada petani perkebunan sawit atau karet yang dikuasai perusahaan besar. Padahal, anggaran pemerintah lebih banyak untuk petani padi dan jagung. “Anehnya, malah lebih banyak petani padi dan jagung yang miskin,” kata Anang.

Hal senada diungkapkan Joko S.S. Hartono. Menurut dia, berdasar angka statistik kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) turun 50% pada 2007 lalu. Untuk tahun 2010, kontribusi pertanian turun hingga di bawah 12%. Data ini menunjukkan sektor pertanian mulai ditinggalkan, terbukti dari minimnya pemuda yang mau menjadi petani.

Selain itu, petani juga masih dibelit permasalahan lama, seperti sumber daya manusia, keterbatasan institusi pertanian, belum terlibatnya perguruan tinggi, dan infrastruktur ekonomi.

 

Infrastruktur

Untuk menjawab tantangan ini, Joko menawarkan solusi pemberdayaan kelompok tani agar memiliki posisi tawar yang lebih baik. Infrastruktur di sentra pertanian juga perlu diperbaiki untuk kelancaran transportasi hasil bumi. Solusi lain, perguruan tinggi, pengusaha, perbankan, dan pemerintah saling bahu-membahu menciptakan sinergi pertanian bersama petani.

Sementara itu, Surono Danu yang sudah menemukan puluhan benih-benih unggul mempertanyakan keseriusan pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa mengembangkan benih unggul temuannya untuk menggenjot produksi pertanian. “Pemerintah tidak berminat mengembangkan. Ini merupakan pemiskinan tersistem,” kata dia.

Menurut Surono, dengan melihat potensi daerah, sebenarnya petani Lampung bisa sejahtera. “Hanya dibutuhkan sinergi antara pemerintah, akademisi, DPRD, dan petani agar pertanian tidak suram,” ujarnya.

Suhatril menjelaskan Lampung sudah menjadi sentra pangan nasional dan memiliki posisi strategis. “Kondisi pertanian di Jawa mulai terbatas. Kini Lampung dan Sulawesi Selatan menjadi andalan.”

Menanggapi hal itu, Marwan Cik Asan mengatakan persoalan pertanian ini tidak bisa diselesaikan menyeluruh, tetapi memakai skala prioritas. Karena itu, DPRD akan lebih dulu memperbaiki infrastruktur, terutama ke daerah-daerah pertanian, untuk memudahkan akses transportasi.

“Untuk meningkatkan produksi, DPRD juga sedang mengupayakan meminjam lahan milik negara yang tidak produktif untuk dipakai ke petani,” kata Marwan. (NOV/U-1)

Share this post

Rehab Pasar Pagelaran

Tanggapi Keluhan Pedagang, Diskoperindag akan Rapat
TRIBUNLAMPUNG.co.id – Dinas Pasar Pringsewu akan menggelar rapat untuk menentukan jadwal yang tepat pembangunan pasar guna mendengar keluhan pedagang.”Kita akan rapat untuk menentukan.Bila hasilnya bisa ditunda ya tidak ada masalah,” papar Kepala Dinas Pasar Kabupaten Pringsewu Zaenal Abidin, Senin (1/8/2011).

Dia melanjutkan, relokasi Pasar Pagelaran sudah sesuai dengan hasil rapat dengan para pedagang yang dihadiri dinas koperindag dan para uspika.

“Hasil keputusan rapat memang relokasi pasar akan dilakukan pada  5 Agustus ini dan relokasi pasar akan berakhir sampai 31 Oktober. Dengan jumlah kios tertutup ada 2 unit, rehab los terbuka 3 unit dan buat baru 2 unit,” papar Zaenal Abidin. (Eka Ahmad Solichin)

Tribun Lampung, 1 Agustus 2011

BAHAN BAKAR : Daerah Tanggung Subsidi Dinilai Tidak Tepat

JAKARTA (Lampost): Rencana Menteri Keuangan untuk mengalihkan beban sebagian subsidi yang membengkak akibat kenaikan harga minyak dunia ke pemerintah daerah (pemda) dinilai tidak tepat.

Apalagi, tidak semua daerah merasakan keuntungan dana bagi hasil minyak dan gas (migas). “Fiskal nasional, termasuk subsidi, itu urusan Pemerintah Pusat, jadi tidak ada urusan dengan pemerintah daerah. Secara prinsip, ini melanggar prinsip perimbangan keuangan daerah,” kata Direktur Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endy Jaweng ketika dihubungi kemarin.

Dia mengingatkan keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga minyak tidak dirasakan seluruh daerah. “Saya perkirakan tidak sampai 30% dari 489 kabupaten/kotamadya dan 33 provinsi. Apa nanti subsidi hanya dikenakan ke yang menghasilkan minyak, atau NTT (Nusa Tenggara Timur) yang tidak punya minyak ikut menanggung,” kata Robert.

Jalan keluar dari bengkaknya subsidi, jika mengkaji anggaran daerah, menurut Robert, seharusnya tidak mengganggu skema dana perimbangan. “Saran saya, (gunakan) dana yang sudah didaerahkan saja. Ini jadi dana liar yang rawan digunakan calo anggaran di DPR, rawan korupsi. Misalnya dana pengelolaan infrastruktur daerah (DPID). Ini yang dulu diusulkan Rp1 miliar per desa,” ujarnya.

Pada Jumat (29-7), Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan pihaknya sedang mengkaji kemungkinan subsidi dapat dialihkan dan ditanggung pemda. Dengan demikian, beban anggaran subsidi dalam APBN dapat berkurang.

Dia menjelaskan pemda perlu mengambil peran dalam menanggung beban subsidi yang semakin besar setiap tahun karena mendapatkan tambahan alokasi DBH apabila terjadi kenaikan harga minyak dunia.

Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin justru menyarankan pemerintah membuat terobosan kebijakan dengan menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal itu sekaligus untuk mengatasi kelangkaan dan maraknya aksi penyimpangan di daerah.

“Kelangkaan BBM dan penyimpangan distribusi tidak lepas dari adanya disparitas harga yang tinggi,” kata Rudy kemarin di Banjarmasin.

Hingga saat ini, di Kalsel, antrean panjang pembelian BBM terjadi di hampir semua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). (MI/U-3)
Sumber   :  Lampost Versi ce

BJ. Habibie : Ilmuwan Nggak Usah Pulang Dulu ke Indonesia

 

REPUBLIKA.CO.ID,AACHEN – B.J. Habibie memaklumi adanya orang pintar Indonesia yang memilih tidak pulang ke tanah airnya. Meski memilih tinggal di luar negeri, Habibie yakin orang-orang itu tetap cinta Indonesia.

“Dari zaman saya di Eropa, isunya sama: brain drain. Tapi, kita realistis saja. Bagaimana orang pintar mau pulang ke Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana,” kata Habibie saat memberikan kuliah umum di kota Aachen, Jerman, Sabtu (30/7).

Ia berbicara banyak soal IPTEK, ekonomi, brain drain, dan kenangan masa mudanya di kota teknik Jerman, Aachen. Antusiasme masyarakat (intelektual) Indonesia memang terlihat di acara ini. Sekitar 470 mahasiswa di daratan Eropa menyempatkan diri datang ke Aachen.

Habibie sendiri terlihat segar, antusias dan seperti biasa penuh senyum. Ia memulai dua sesi kuliah umum dengan menceritakan pengalamannya berkuliah di Aachen pada tahun 1950-an. Ketika panitia mengisyaratkan bahwa waktu yang diberikan terbatas, kakek yang pandai melucu ini berseloroh,“Kekurangan saya memang itu: tidak bisa berhenti kalau sudah ngomong.”

Brain Drain
Pada sesi tanya-jawab, seorang mahasiswi sempat mempertanyakan bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa ditingkatkan jika sekolah pun belum terjamin untuk semua anak Indonesia. Habibie menanggapi dengan ringan.

“Indonesia kan punya banyak sekali sumber daya alam. Harusnya SDA itu yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan otak manusianya,” katanya. “Ya, jangan pesimis, dong. Nggak maju-maju kita kalau pesimis terus. Saya yakin Indonesia bisa. Soal kemampuan sih, nggak usah dipertanyakan lagi.”

Masalah brain drain pun Habibie tak cemas. “Bohong itu kalau bilang, orang Indonesia yang di luar negeri are lost people yang nggak punya nasionalisme.”

Menurutnya, pilihan yang realisitis untuk (sementara) bertahan di luar negeri. Apalagi untuk para ilmuwan, kondisi dalam negeri tidak mendukung mereka melakukan riset atau mengembangkan keahlian.

“Tapi saya yakin, jika ada kesempatan, tak ada orang Indonesia yang tidak ingin berbakti pada tanah air,” katanya. “Nggak masalah kalau sekarang mereka ingin ‘mencari bekal’ dulu di luar negeri.”