Penggarap Register 22 terancam Lapar

                                                                                                               gambar ilustrasi

BANDARLAMPUNG – Keputusan tim khusus (timsus) penyelesaian sengketa lahan yang menetapkan status quo di Register 22 Way Waya, Pringsewu, akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan ratusan warga penggarap lahan itu.

’’Ratusan warga bergantung dengan hasil di lahan garapan itu. Nah, kalau status quo diberlakukan sampai waktu tak jelas, bagaimana warga tidak terancam kelaparan?” tanya Dharsono, salah seorang warga yang mengantongi surat keterangan tanah di lahan itu, ketika datang ke Graha Pena Lampung kemarin.

Karena itu, Dharsono mewakili warga lainnya berharap status quo tersebut cepat dicabut kembali.

Pada rapat 19 April 2012, Asisten I Pemkab Pringsewu Firman Muntako menjelaskan, temuan tim ke lokasi bahwa surat-surat kepemilikan tanah oleh kelompok penggugat kelompok Firman alias Belentung tidak sah. Alasannya, dibuat pada 1959. Di mana, status tanah waktu itu adalah Register 22 Way Waya. Pada 1997 ada program transmigrasi lokal ke Mesuji. Mereka yang diberangkatkan merupakan penggarap Register 22 itu.

Dengan demikian, kelompok Firman tidak berhak lagi menuntut lahan yang ditinggalkan karena telah mendapat ganti lahan garapan di lokasi transmigrasi itu seluas 2 hektare berikut satu rumah semipermanen. ’’Dengan fakta ini, maka pemkab tak perlu menanggapi pengaduan mereka. Kalau memang ingin menggugat, tempuh saja jalur hukum,” ujar Dharsono lagi.

Sementara menyusul penetapan satus quo dan adanya penambahan keterlibatan elemen, timsus penyelesaian sengketa lahan yang dibentuk Pemkab Pringsewu diminta menyelesaikan persoalan yang terjadi di Register 22 sampai ke akarnya.

Serikat Tani Indonesia (Sertani) yang selama ini ikut aktif melakukan pendampingan di wilayah itu melalui sekretarisnya, Agustinus Triana, berharap timsus bekerja sampai menuntaskan akar persoalannya agar konflik Register 22 tak terus timbul.

’’Kami minta penyelesaian sengketa lahan ini diselesaikan secara tuntas. Terlebih timsus juga menambah anggotanya yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan ini,” tuturnya kemarin.

Agustinus menambahkan, ini agar mereka yang benar-benar berhak dapat menikmati haknya. Terutama masyarakat kecil di wilayah itu, meski hanya memiliki garapan atau tanah sedikit juga dapat terlindungi.

’’Dugaan adanya oknum yang memiliki lahan sampai 175 hektare, itu perlu dipertanyakan keabsahannya. Yang harus dilindungi justru masyarakat kecil,” katanya.

Terkait penetapan status quo di lahan itu memang diperlukan. Ini untuk menghindari konflik horizontal. ’’Status quo perlu diterapkan agar tak timbul konflik antarpenggarap. Ini diberlakukan selama proses belum selesai. Warga sendiri sangat berharap agar lahan itu juga tak digarap terlebih dahulu,” ungkapnya. (rnn/sag/c2/adi)

Tinggalkan komentar